6.3.10

Masalah “at-Talaffudz bin Niyyah”


Masalah “at-Talaffudz bin Niyyah"


Dimanakah tempatnya niat? Ahlul Ilmi ber-ijma’ tanpa ada khilaf di antara mereka bahwa tempatnya niat adalah hati (al-Qolbu), dan barangsiapa yang bertekad dalam hatinya berarti ia telah berniat. Ibnu Hubairoh[*] mengatakan ijma’ imam yang empat tentang hal tersebut, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh (juga) mengatakan ijma’ ‘ulama tentang hal tersebut. Jadi ya ikhwan, para ‘ulama telaj ber-ijma’ bahwa barangsiapa yang berniat dalam hatinya, maka telah tercapailah yang dimaksud (yakni niatnya sah, pent), tanpa ada khilaf.

Akan tetapi tentang masalah melafadzkan niat, apakah melafadzkan niat itu mustahab (disukai), atau tidak mustahab? Para ‘ulama telah ber-ijma’ bahwa barangsiapa tidak melafadzkan niat maka niatnya sah, akan tetapi apakah mustahab bagi mereka untuk melafadzkan niatnya?

Kami katakan bahwa perkataan ini ada perinciannya. Mustahab bagi seorang muslim untuk melafadzkan niatnya dalam dua perkara : pada an-Nusuk dan pada an-Naski.

Pada an-Nusuk dan an-Naski, pada an-Nusuk yaitu haji dan umroh, dan pada an-Naski yaitu penyembelihan (atau) menyembelih kurban. Disukai bagi seseorang untuk melafadzkan sesuatu yang menunjukkan niat. Misalnya dalam umroh disukai agar seseorang mengucapkan “Labbaikallohumma umroh”, dan dalam haji disukai agar seseorang mengucapkan “Labbaikallohumma hajjan” jika hajinya ifrod, atau mengucapkan “Labbaikallohumma umrotan wa hajjan” jika hajinya qiron, atau pada awal manasiknya mengucapkan “labbaikallohumma umroh” lalu di Makkah mengucapkan “labbaikallohumma hajjan” jika hajinya tamattu’.

Ini merupakan masalah ijma’ di antara ahlul ilmi, bahwa masalah ini mustahab karena telah shohih dalilnya dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam.

Akan tetapi para ‘ulama berbeda pendapat, apakah (ucapan labbaikallohuma … dst, pent) ini merupakan talaffudz bin niyyah (pengucapan niat) atau dzikir?

Diantara ahlul ilmi ada yang mengatakan ucapan ini adalah talaffudz bin niyyah, yang telah diniatkan dalam hatinya lalu diucapkan dengan lisannya. Dan di antara ahlul ilmi ada yang mengatakan ucapan ini adalah dzikir yang khusus dan mereka mengatakan wajib untuk mencukupkan berdasarkan apa yang telah datang (shohih dari Nabi, pent), dan tidak disyari’atkan untuk mengubahnya, dalam umroh seseorang mengucapkan “labbaikallohumma umroh” dan tidak disyari’atkan seseorang mengucapkan “Allohumma inni nawaitul umrota fayassirha lii”; dalam haji seseorang mengucapkan “labbaikallohumma hajjan” dan tidak disyari’atkan seseorang mengucapkan “Allohumma inni nawaitul hajja fayassirhu lii”.

Adapun orang yang mengatakan bahwa ucapan ini adalah talaffudz bin niyyah, maka sebagian mereka berpendapat bahwa tidak mengapa bagi seseorang untuk mengungkapkan niat, lalu berkata “allohumma inni nawaitu kadza, allohumma inni nawaitu kadza”.

Begitu pula dalam udh-hiyyah (penyembelihan), seseorang mengatakan ketika akan menyembelih “allohumma hadza minka wa laka”, “allohumma hadza anni wa an ahli baiti”, dan masalahnya adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam masalah an-Nusuk (manasik). Dan ini merupakan kesepakatan.

Kemudian ahlul ilmi berbeda pendapat, apakah mustahab untuk melafadzkan niat pada amal-amal yang selainnya (selain an-Nusuk & an-Naski), seperti sholat, wudhu’ dan lain-lain?

Yang benar dari perkataan ahlul ilmi yang tidak diragukan lagi adalah bahwa melafadzkan niat pada selain kedua amal ini (an-Nusuk & an-Naski) adalah tidak disyari’atkan, bahkan melafadzkan niat padanya adalah bid’ah, karena Nabi shollallohu alaihi wa sallam melakukan amalan-amalan dan tidak dinukil bahwa baliau melafadzkan niat.

Dan orang-orang yang menukilkan dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam pergerakan-pergerakan tubuhnya dalam sholat tidak akan meninggalkan pengucapan niat tanpa menukilnya, (sehingga) ketika mereka tidak menukilnya, kita menjadi tahu bahwa Nabi sholallahu alaihi wa sallam tidaklah melafadzkan (niat) dan begitu pula para shobabat ridhwanallohi alaihim. Maka yang benar, bahwasanya tidak disunnahkan bagi seorang muslim melafadzkan niat pada selain an-Naski dan an-Nusuk.


Dan yang terpandang bagi saya ( Wallahu A’lam ) ialah ;

bahwasanya wajib mencukupkan berdasarkan apa yang telah datang (dari Nabi, pent), dan tidak mengubah-ubah dan tidak pula menambah-nambah, baik jika kita katakan bahwa ucapan itu adalah talaffudz bin niyyah atau kita katakan bahwa ucapan itu adalah dzikir, karena ucapan ini adalah perkara yang sudah tetap dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam, sehingga wajib untuk mencukupkan dengan apa yang sudah tetap/shohih.

Rujukan :

[Diterjemahkan dari Dars al-Qowa'idul Fiqhiyyah oleh asy-Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili –hafidzohulloh- pada Dauroh Masyayikh Madinah di Kebun Teh Wonosari Lawang Malang 2006 file : 04_kaidah fiqh3.mp3 menit 09:30 - 15:55]
Catatan kaki:

[*] Ibnu Hubairoh, Abul Mudzoffar Yahya bin Muhammad bin Hubairoh asy-Syaibani al-Hanbali (499 – 560 H). Adz-Dzahabi berkata tentangnya : “al-Wazir al-Kamil, al-Imam al-’Alim al-’Adil, ‘Aunuddin, Yaminul Khilafah, … (lalu beliau menyebutkan nama lengkapnya, pent) … Shohibut Tashonif.” [Lihat as-Siyar 20/426]

Tiada ulasan: